Kasus Bank Century dan Kritik Pedas terhadap Sri Mulyani


Latar Belakang Kasus Bank Century

Kasus Bank Century adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang terjadi pada 2008, di tengah krisis keuangan global. Bank Century, yang kini berganti nama menjadi Bank JTrust Indonesia, dinyatakan sebagai bank gagal dengan dampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Keputusan ini diambil dalam rapat pada 21 November 2008, yang dipimpin oleh Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati, selaku Ketua KSSK, bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono. Untuk menyelamatkan bank tersebut, pemerintah mengucurkan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ditambah Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari BI sebesar Rp689,39 miliar.

Namun, keputusan ini memicu kontroversi besar. Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR pada 2010 menyimpulkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp6,7 triliun. Pansus menuding Sri Mulyani dan Boediono sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas skandal ini.

Peran Sri Mulyani dalam Kasus Bank Century

Sebagai Menteri Keuangan dan Ketua KSSK, Sri Mulyani memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan penyelamatan Bank Century. Dalam rapat KSSK pada 21 November 2008, ia menyetujui penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, meskipun sejumlah pejabat menyampaikan keraguan. Misalnya, Ketua Dewan Komisioner LPS Rudjito menyatakan bahwa Bank Century tidak memenuhi kategori dampak sistemik dalam kondisi normal, dan Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyebut skala bank tersebut terlalu kecil untuk menimbulkan risiko signifikan.

Sri Mulyani juga diketahui menyampaikan kekhawatiran atas data yang diberikan BI, yang dinilainya tidak akurat. Dalam persidangan kasus Budi Mulya (mantan Deputi Gubernur BI) pada 2 Mei 2014, ia mengungkapkan kekecewaannya karena BI tidak menyampaikan kondisi sebenarnya Bank Century, yang ternyata bukan sekadar masalah likuiditas, melainkan kebangkrutan. Meski demikian, ia tetap menandatangani keputusan penyelamatan, yang kemudian memicu kritik bahwa ia tidak cukup kritis terhadap informasi yang diterima dari BI.

Kritik Pedas terhadap Sri Mulyani

  1. Tanggung Jawab sebagai Ketua KSSK
    Pengamat ekonomi Faisal Basri menegaskan bahwa Sri Mulyani, sebagai Ketua KSSK, memiliki tanggung jawab penuh atas keputusan bailout. Ia mempertanyakan mengapa sekretaris KSSK, Raden Pardede, disebut dalam dakwaan, tetapi Sri Mulyani tidak. Menurut Faisal, posisi ketua jauh lebih strategis dibandingkan sekretaris, sehingga tanggung jawabnya tidak bisa diabaikan.

  2. Kurangnya Due Diligence
    Kritik tajam lainnya adalah kurangnya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan. Misbakhun, inisiator hak angket, mempertanyakan mengapa Sri Mulyani tidak didakwa bersama Budi Mulya, padahal ia menyetujui penetapan status bank gagal berdampak sistemik tanpa mempertimbangkan masukan kritis dari peserta rapat KSSK. Kwik Kian Gie juga menyebut bahwa Sri Mulyani sempat meragukan penilaian BI, tetapi tetap melanjutkan keputusan bailout, yang menunjukkan kurangnya ketegasan dalam memverifikasi data.

  3. Dugaan Operasi Senyap
    Anggota Tim Pengawas (Timwas) Century, Bambang Soesatyo, meminta KPK mendalami curhatan Sri Mulyani kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang adanya "operasi senyap" dalam kasus ini. Curhatan ini dianggap sebagai petunjuk adanya motif tersembunyi di balik bailout, yang hingga kini belum terungkap sepenuhnya. Hal ini memicu spekulasi bahwa Sri Mulyani mengetahui adanya potensi penyimpangan, tetapi tidak bertindak lebih jauh untuk menghentikannya.

  4. Persepsi Publik dan Perlakuan Istimewa
    Komisi III DPR mengkritik KPK karena memeriksa Sri Mulyani di Washington DC (saat ia menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia) dan Boediono di Istana Wakil Presiden, bukan di gedung KPK. Hal ini dianggap sebagai perlakuan istimewa yang melanggar asas persamaan di depan hukum. Akil Mochtar, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, bahkan menyebut KPK gagal menjaga independensinya karena memberikan privilege kepada Sri Mulyani.

  5. Moral Hazard dan Dampak Sistemik
    Sri Mulyani sendiri mengakui kekhawatiran tentang moral hazard akibat bailout bank kecil seperti Century. Dalam persidangan, ia menyatakan bahwa penyelamatan bank bermasalah bisa mendorong bank lain untuk sengaja menciptakan kegagalan demi mendapatkan dana talangan. Kritik ini justru berbalik kepadanya, karena ia dianggap tidak cukup proaktif mencegah potensi moral hazard tersebut.

Pembelaan Sri Mulyani

Sri Mulyani menegaskan bahwa langkah penyelamatan Bank Century diambil sesuai prosedur untuk mencegah krisis perbankan yang lebih luas akibat hilangnya kepercayaan nasabah dan investor. Ia juga mempersilakan audit investigasi untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam pengucuran dana. Dalam persidangan Budi Mulya, ia menegaskan bahwa keputusan bailout didasarkan pada informasi dari BI, dan kekecewaannya terhadap data yang tidak akurat menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya bersalah atas keputusan tersebut.

Namun, pembelaan ini tidak meredam kritik. Banyak pihak menilai bahwa sebagai Ketua KSSK, ia seharusnya memiliki mekanisme verifikasi yang lebih ketat, terutama mengingat skala kerugian negara yang begitu besar.

Perspektif : Analisis Kritis

Saya melihat kasus ini sebagai contoh kompleksitas pengambilan keputusan di tengah krisis. Sri Mulyani berada dalam posisi sulit: di satu sisi, ia harus bertindak cepat untuk mencegah potensi krisis sistemik; di sisi lain, ia bergantung pada data dari BI yang ternyata bermasalah. Namun, kritik terhadapnya memiliki dasar yang kuat. Sebagai pemimpin KSSK, ia memiliki otoritas untuk menunda atau memverifikasi keputusan, terutama ketika ada peringatan dari pejabat seperti Rudjito dan Fuad Rahmany. Ketidaktegasannya dalam menuntut transparansi dari BI menimbulkan pertanyaan tentang integritas proses pengambilan keputusan.

Lebih jauh, curhatan tentang "operasi senyap" yang disebutkan kepada Jusuf Kalla menunjukkan bahwa Sri Mulyani mungkin menyadari adanya agenda tersembunyi, tetapi tidak mengambil langkah konkret untuk mengungkapnya. Hal ini memperkuat persepsi bahwa ia, secara sengaja atau tidak, membiarkan potensi penyimpangan berlangsung. Dari perspektif skeptis, pengunduran dirinya pada Mei 2010 dan kepergiannya ke Bank Dunia dapat dilihat sebagai upaya menghindari tekanan politik dan hukum di Indonesia, meskipun ini tidak terbukti secara hukum.

Kesimpulan

Kasus Bank Century tetap menjadi noda dalam karir cemerlang Sri Mulyani. Meskipun ia tidak pernah didakwa secara hukum, kritik pedas dari berbagai pihak—mulai dari DPR, pengamat, hingga publik—menunjukkan bahwa perannya sebagai Ketua KSSK dianggap kurang cermat dan berpotensi memfasilitasi kerugian negara. Di sisi lain, tekanan krisis global dan informasi yang tidak lengkap dari BI menjadi faktor yang mempersulit posisinya. Kasus ini mengingatkan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pengawasan yang kuat dalam pengambilan keputusan keuangan yang berdampak besar.



Posting Komentar