Kritik terhadap Koruptor Berdasi di Indonesia: Ancaman yang Merugikan NKRI


 

Koruptor berdasi, istilah yang merujuk pada para pelaku korupsi dari kalangan elite seperti pejabat pemerintah, pengusaha, dan tokoh berpengaruh, terus menjadi momok bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tengah upaya pemberantasan korupsi, kasus-kasus baru terus bermunculan, menunjukkan bahwa sistem masih renta dan regenerasi korupsi berlangsung tanpa henti. Pada 2025, isu integritas dan korupsi menjadi yang paling disorot, baik di sektor publik maupun swasta, dengan dampak yang merugikan stabilitas ekonomi, sosial, dan kedaulatan negara. Kritik ini menyoroti bagaimana korupsi elite tidak hanya menggerogoti anggaran negara, tetapi juga memperlemah fondasi NKRI.

Dampak Korupsi Elite terhadap NKRI

Korupsi oleh para "tikus berdasi" menyebabkan kerugian negara yang fantastis, mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan hampir 2.000 kasus korupsi yang telah ditangani, dengan kerugian yang memperburuk kemiskinan dan ketimpangan sosial. Di 2025, "liga korupsi Indonesia" mencatat kasus dengan kerugian paling tinggi, di mana koruptor justru membuat rakyat semakin miskin. Hal ini merugikan NKRI karena dana yang seharusnya untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan malah mengalir ke kantong pribadi, menghambat visi Indonesia Emas 2045.

Lebih parah lagi, korupsi ini sering melibatkan anggota keluarga koruptor, menciptakan dinasti korupsi yang sulit diputus. Budaya permisif terhadap korupsi, vonis ringan, dan tebang pilih dalam penanganan kasus semakin memperburuk situasi, membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah runtuh. Akibatnya, NKRI menghadapi ancaman disintegrasi sosial, di mana rakyat kecil semakin termarginalkan sementara elite menikmati kemewahan dari hasil korupsi.

Kasus Terkini: Regenerasi Koruptor Muda

Pada 2025, tren korupsi semakin mengkhawatirkan dengan munculnya koruptor muda, bahkan ada yang berusia 22 tahun. Salah satu kasus mencolok adalah korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai Rp 2,8 miliar di Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang melibatkan tiga pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud). Kasus ini menunjukkan bagaimana koruptor berdasi menyalahgunakan wewenang di sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas untuk membangun generasi muda NKRI.

Fenomena koruptor muda ini menandakan kegagalan sistem pendidikan dan pengawasan, di mana nilai integritas tidak lagi menjadi pondasi. Meskipun pemerintah telah menyetor Rp 11,8 triliun dari aset korupsi, upaya ini masih dianggap belum optimal karena banyak kasus yang lolos dari jerat hukum. Kritik tajam datang dari berbagai kalangan, yang menuntut pemiskinan koruptor dan perampasan aset secara tegas untuk memutus rantai korupsi.

Kritik terhadap Sistem yang Memungkinkan Korupsi

Sistem hukum Indonesia masih renta terhadap korupsi elite, dengan vonis ringan dan intervensi politik yang sering kali melindungi koruptor berdasi. Respons pemerintah, seperti simpati terhadap keluarga koruptor, justru menunjukkan ketidaktegasan dalam pemberantasan. Hal ini merugikan NKRI karena korupsi tidak hanya ekonomi, tapi juga moral, di mana elite yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi penghancur bangsa.

Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara memperburuk masalah. Korupsi di sektor yudisial pun menjadi sorotan, di mana hakim dan jaksa terlibat, menghalangi pemulihan aset dan keadilan bagi rakyat. Tanpa reformasi mendalam, NKRI akan terus dirugikan oleh gurita korupsi yang mengakar.

Solusi yang Diperlukan

Untuk mengatasi ancaman koruptor berdasi, pemerintah dan masyarakat perlu menerapkan langkah-langkah tegas:

  1. Pemiskinan Koruptor dan Perampasan Aset: Wujudkan RUU Perampasan Aset secara cepat untuk memulihkan kerugian negara dan mencegah dinasti korupsi.
  2. Reformasi Hukum: Tingkatkan vonis minimal bagi koruptor elite dan hilangkan tebang pilih dalam penanganan kasus.
  3. Pendidikan Anti-Korupsi: Integrasikan nilai integritas sejak dini untuk memutus regenerasi koruptor muda.
  4. Pengawasan Publik: Libatkan masyarakat dan media dalam monitoring anggaran negara untuk meningkatkan transparansi.

Kesimpulan

Koruptor berdasi di Indonesia bukan hanya pencuri uang rakyat, tapi juga penghancur fondasi NKRI. Dengan kasus yang terus bertambah pada 2025, termasuk koruptor muda dan kerugian triliunan, kritik ini menjadi panggilan bagi perubahan sistemik. Tanpa tindakan tegas, NKRI akan semakin rapuh di tengah ketimpangan yang diciptakan oleh elite korup. Pemerintah harus mendengarkan suara rakyat dan memprioritaskan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama, demi masa depan bangsa yang adil dan sejahtera.

Posting Komentar