Sri Mulyani Indrawati, sebagai Menteri Keuangan Indonesia, sering kali menjadi pusat perhatian dalam pengelolaan keuangan negara. Kebijakan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dia usung, termasuk pelebaran defisit hingga Rp 662 triliun atau setara 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Kritik ini tidak hanya menyoroti ketidakefisienan anggaran, tetapi juga dampaknya yang merugikan rakyat kecil, seperti peningkatan utang negara dan kurangnya alokasi untuk sektor krusial seperti pendidikan.
Defisit Anggaran yang Melebar: Beban Utang untuk Generasi Mendatang
Salah satu poin kritik utama adalah pelebaran defisit APBN 2025 yang disebabkan oleh tidak tercapainya target penerimaan negara, sementara belanja negara tetap tinggi. Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara hanya Rp 2.865 triliun, yang memicu defisit hingga Rp 662 triliun. Hal ini dikhawatirkan akan menambah beban utang negara, yang pada akhirnya dibayar oleh rakyat melalui pajak dan inflasi. DPR RI, melalui anggotanya seperti Dolfie Othniel, menyoroti kontradiksi antara janji efisiensi anggaran dengan realitas utang yang bengkak. Program-program nasional yang ambisius justru menjadi penyumbang utama defisit ini, tanpa manfaat yang merata bagi masyarakat.
Kenaikan anggaran ini terasa merugikan karena di tengah ketidakpastian ekonomi global, APBN seharusnya berfungsi sebagai penyangga (shock absorber), bukan malah memperburuk kondisi fiskal. Namun, realitasnya, defisit hingga Mei 2025 saja sudah mencapai Rp 21 triliun, dan hingga Maret mencapai Rp 104,2 triliun, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Rakyat kecil, yang bergantung pada subsidi dan bantuan sosial, justru merasakan dampaknya melalui kenaikan harga barang dan layanan publik yang tidak seimbang.
Kurangnya Alokasi untuk Pendidikan: Janji yang Tak Terealisasi
Kritik lain yang sering dilontarkan adalah kegagalan mencapai target anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sebagaimana diamanatkan undang-undang. Sri Mulyani merespons kritik ini dengan alasan teknis, tapi fakta menunjukkan realisasi anggaran pendidikan masih di bawah ambang batas tersebut. Konten kreator seperti Jerome Polin bahkan secara terbuka mengkritik rendahnya gaji guru dan kurangnya anggaran pendidikan, yang menghambat visi Indonesia Emas 2045. Meski ada janji kenaikan anggaran untuk program sekolah rakyat menjadi Rp 7 triliun pada 2025 dan naik lagi pada 2026, hal ini dianggap terlambat dan tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah pedesaan.
Dampak merugikan bagi rakyat jelas: generasi muda kehilangan kesempatan pendidikan berkualitas, yang pada akhirnya memperburuk kemiskinan struktural. Sementara anggaran untuk infrastruktur megah terus mengalir, sektor pendidikan yang langsung menyentuh rakyat kecil justru terabaikan.
Kurangnya Transparansi dan Ketidakadilan Distribusi
Meski Sri Mulyani mengklaim bahwa masyarakat menengah ke bawah telah menikmati APBN hingga Rp 1 triliun lebih, kritik tetap muncul karena kurangnya transparansi dalam distribusi anggaran. Banyak program nasional yang diklaim pro-rakyat justru berakhir pada korupsi atau tidak tepat sasaran, meninggalkan rakyat dengan beban utang tanpa manfaat nyata. Rancangan APBN 2025 sebagai anggaran transisi pemerintahan baru juga dikritik karena tidak cukup adaptif terhadap kebutuhan rakyat di masa peralihan.
Solusi yang Diperlukan
Untuk mengatasi kritik ini, Sri Mulyani dan pemerintah seharusnya:
- Meningkatkan Efisiensi: Potong anggaran non-prioritas dan fokus pada penerimaan negara melalui reformasi pajak yang adil.
- Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan: Pastikan alokasi minimal 20 persen untuk pendidikan, dengan monitoring ketat agar tepat sasaran.
- Transparansi Total: Buka laporan anggaran secara real-time untuk pengawasan publik.
- Kurangi Defisit: Hindari pelebaran defisit dengan diversifikasi sumber pendapatan, bukan bergantung pada utang.
Kesimpulan
Kebijakan kenaikan anggaran APBN di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, meski dimaksudkan untuk pembangunan, justru sering kali merugikan rakyat melalui defisit besar, utang yang menumpuk, dan alokasi yang tidak adil. Tanpa perubahan mendasar, kebijakan ini hanya akan memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi. Pemerintah perlu lebih mendengarkan suara kritik dari DPR, masyarakat, dan pakar untuk menciptakan APBN yang benar-benar pro-rakyat, bukan sekadar alat untuk ambisi politik.